IN TRANZIT (2008): NASIB TAWANAN PRIA DALAM KAMP WANITA

Andy Putera
07.28.2010
wordpress.com

Wanita memang ditakdirkan untuk lebih peka rasa ketimbang pria. Seberapa pun besarnya kebencian yang mereka simpan, pasti kelembutan hati dan hasrat cinta akan segera meluluhkannya. Begitulah yang terjadi di sebuah kamp tawanan perang khusus wanita di Rusia.

Berlatarbelakang pasca usainya perang dunia kedua yang turut menandai keruntuhan rezim Nazi. Rusia sebagai pihak yang pernah dirugikan oleh kebiadaban Nazi pun segera menawan para antek-antek SS dalam kamp-kamp transit tahanan perang di berbagai pelosok wilayahnya. Saat itu musim salju pertama setelah perang dunia kedua berakhir, sebuah kamp transit khusus tahanan perang wanita tiba-tiba kedatangan sekelompok tahanan perang pria yang dikirimkan atas perintah komandan Pavlov (John Malkovich). Pikirkan saja bagaimanan para tahanan pria tersebut mendekam dalam "kandang" tentara wanita? Mereka (tentara wanita Rusia) jumlahnya tidaklah sebanyak tahanan pria SS. Namun darah mereka seakan telah dialiri kebencian teramat kepada Nazi, sehingga tiada rasa takut lagi pada diri mereka untuk bertindak tegas pada tawanan-tawanan pria tersebut.

In Tranzit disutradarai oleh Tom Roberts, yang memang lebih akrab sebagai sutradara film dokumenter bahkan karya dokumenternya sempat memenangkan Emmy Awards. Maka jangan heran, beberapa frame di In Tranzit disisipkan beberapa cuplikan rekaman dokumenter mengenai kehidupan warga Rusia pasca kebiadaban tentara-tentara Nazi. Oleh Tom Roberts, hal itu dimaksudkan untuk lebih mempertegas label "Based On True Story" yang disandang filmnya itu. Beliau juga begitu brilian dalam menciptakan suasana "ngeri" ketika opening credit film ini berlangsung. Gambar-gambar di opening credit dibuatnya agak hitam putih, dimana dikombinasikan dengan gesekan score yang bak tema misteri. Cukup menarik dalam memancing ekspektasi kita bahwa film ini bakal banyak bermuatan sadis, penyiksaan, kekerasan, atau anti-humanisme lah namanya. Mengingat Nazi sering bertindak jahanam terhadap warga Rusia seperti menyiksa dan membunuh tanpa pandang bulu, pastinya akan menjadi alasan kuat bagi tentara-tentara wanita Rusia yang kini menawan mereka untuk membalaskan dendam secara setimpal. Namun Tom Roberts tidak mengeluarkan formula seperti itu, seusai opening credit berakhir, malah atmosfer yang dibangun terlihat tenang dan ada sebuah keintiman yang mencolok dari visualisasi hubungan antara tentara wanita dengan tahanan pria. Tom Roberts membawa In Tranzit ini kedalam perspektif tentara wanita Rusia, dimana dalam bertindak lebih menggunakan hati ketimbang emosi dan kebencian. Mereka tetap tegas terhadap tahanan, namun mereka tidak bertindak semena-mena layaknya aksi film-film bertemakan Holocaust Nazi. Sebuah sisi wanita yang peka rasa dan penuh kasih sayang begitu mengaduk atmosfer film ini. Penonton pun tidak diharapkan iba ketika menonton In Tranzit, karena memang tidak ada scene yang membikin ngeri, merintih, atau pun membuat penonton ikut terluka,

Dalam In Tranzit, Vera Farmiga berperan sebagai Natalie, seorang dokter yang bertugas di kamp wanita tersebut. Meski bukan salah satu penampilan istimewa seorang Farmiga jika dibandingkan perannya di Up In The Air atau Breaking and Entering, Farmiga berhasil secara kostan dalam menampilkan sosok dokter yang baik hati dan penuh rasa iba. Belum lagi ruang emosionalnya yang kian campur aduk ketika mencurahkan perhatiannya terhadap Audrei (Yevgeni Mironov), suaminya yang mengalami ketidakstabilan mental. Demi dapat mengamati kondisi suaminya, Natalie pun terpaksa harus menuruti segala perintah Pavlov sang komandan dan bertindak sebagai assistennya. Natalie pun diberi tugas untuk mencari penjahat perang diantara tahanan-tahanan pria di kampnya tersebut. Sampai pada akhirnya Nathalie jatuh kedalam perasaan cinta dengan salah satu tahanan pria bernama Max (Thomas Kretschmann). Lagi-lagi John Malkovich menjadi daya tarik dengan penampilannya sebagai Pavlov, sang komandan Rusia yang mengerikan dan amat sinis. Raut muka karakternya memang terlihat tenang, namun setiap kata yang keluar dari mulutnya amatlah berbisa. In Tranzit juga menampilan Daniel Bruhl yang pernah bermain apik di Good Bye Lenin!. Karakternya sebagai penjahat perang yang penuh tipu muslihat dalam menyembunyikan identitasnya tidaklah begitu istimewa, mungkin karena porsinya pun tidak terlalu banyak dalam film ini.

Kombinasi penataan musik dan tata artistik film tidak terlalu mengecewakan. Meski inti cerita ini agak keteteran ketika ingin memaksimalkan pesan yang akan disampaikan. Memang bukan formula yang istimewa untuk premis cerita seperti ini. Apalagi dengan cara pengeksekusian setiap frame cerita oleh Tom Roberts cenderung membuat penonton bosan. Untungnya sang sutradara membungkus In Tranzit dengan gaya berdokumenternya, sehingga atmosfer era yang ingin disajikan mampu meyakinkan secara nyata kepada penonton.